Higienitas Dapur MBG, Lubang Besar di Program

Ilustrasi - Dapur MBG. (Foto: Istimewa)


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki cita-cita luhur: memastikan anak sekolah, ibu hamil, balita, dan kelompok rentan lain mendapat asupan gizi memadai agar tumbuh sehat dan produktif. Namun belakangan, porsi anggaran yang luar biasa besar, kasus keracunan, dan masalah higienitas dapur MBG memunculkan pertanyaan: apakah MBG sedang berjalan sesuai idealnya, atau justru menjadi beban baru yang rapuh?

1. Anggaran yang Fantastis dan Sumbernya

Dalam UU APBN 2026, MBG dialokasikan Rp 335 triliun sebagai program prioritas negara. Lebih mengejutkan, sekitar Rp 223 triliun dari jumlah itu justru “diserap” dari alokasi pendidikan. Artinya, sebagian besar dana pendidikan yakni ruang untuk guru, fasilitas sekolah, infrastruktur digeser ke MBG. Kritik pun muncul: apakah pergeseran ini adil dan sesuai prioritas anak bangsa? (JPPI mengecam keras kebijakan ini) Anggaran luar biasa besar ini menunjukkan satu hal: pemerintah memberi sinyal bahwa program gizi adalah salah satu prioritas utama. Tapi sinyal itu belum tentu berarti pelaksanaan yang matang.

2. Higienitas & Keamanan: Titik Kritis yang Banyak Bolong

Berita terbaru menyebutkan bahwa dari 8.553 dapur MBG (SPPG) hanya 24 yang sudah memiliki Sertifikat Laik Higienis Sanitasi (SLHS). Artinya, ribuan dapur belum memenuhi standar higienis yang dasar. Kepala Staf Presiden pun menegaskan: semua dapur MBG harus punya SLHS sebagai mitigasi kasus keracunan. 

Beberapa dapur bahkan sudah ditutup sementara karena keracunan siswa. Misalnya, dapur MBG Desa Menang Raya (OKI) yang belum beroperasi karena menunggu SLHS dan perbaikan setelah ditemukan bakteri E. coli di menu makanan. Kalau higienitas saja belum terjamin, bagaimana kita berharap anak-anak aman?

3. Kasus-Kasus Keracunan & Mixed Trust Publik

Beberapa wilayah melaporkan kasus keracunan yang diduga akibat makanan MBG. Ada video siswa SMP di Rembang yang dirawat usai makan MBG.Publik pun makin menyuarakan “yang kurang” dari program ini: pengawasan, transparansi, audit mutu, dan tanggung jawab jika ada gagal atau korban.Ketua DPR bahkan minta pemerintah mengevaluasi total program MBG agar tidak menjadi bumerang politik dan kesehatan. 

4. Kesenjangan Antara Cita-cita dan Kenyataan di Lapangan

Kalau idealnya MBG mempersempit kesenjangan gizi antar daerah maka realitasnya: daerah yang punya kapasitas pengawasan, SDM, infrastruktur lebih siap menjalankan, sedangkan daerah terpencil dan miskin lebih rentan gagal.

Di Sukabumi misalnya, ada kritik bahwa dapur MBG menggunakan air sungai yang belum tentu aman, menunjukkan bagaimana kondisi lokal bisa sangat jauh dari ideal.

Selain itu, meskipun anggaran besar, belum ada jaminan bahwa kualitas makanan, frekuensi penyajian, maupun distribusi akan konsisten merata. Banyak variabel yang bisa bocor: sumber bahan, kondisi dapur, pelatihan petugas, kontrol kualitas.

5. Opini: Antara Harapan yang Besar & Realitas yang Berat

Aku berpikir bahwa MBG adalah niat baik yang mulia, tapi dalam praktiknya sangat rentan menjadi program “populis” daripada program yang berdampak jangka panjang. Beberapa poin yang ingin ditekankan:Perbaiki dulu yang mendasar sebelum memperluasLebih baik memiliki 1.000 dapur MBG dengan standar higienis tinggi, pengawasan rutin, audit terbuka, dibanding punya 10.000 dapur dengan kondisi amburadul.

Libatkan masyarakat & lembaga independen dalam audit Transparansi dan partisipasi warga penting agar publik tidak hanya pasif menerima, melainkan punya akses untuk menilai kualitas layanan MBG.

Segmentasi program berdasarkan kebutuhan mungkin makanan bergizi gratis cocok untuk sekolah dasar, tapi untuk anak-anak di daerah paling terpencil, model survei gizi atau bantuan langsung pangan lokal bisa lebih pas.

Standar bukan pilihan, tapi keharusan SLHS, kontrol kualitas bahan, sanitasi dapur, pelatihan petugas semua harus menjadi persyaratan minimum sebelum dapur MBG beroperasi. Evaluasi berkelanjutan & adaptasi responsif. 

Jika di suatu daerah sering terjadi kegagalan, maka pendekatannya harus diubah bukan memaksakan model satu pola ke semua daerah. MBG bisa jadi tonggak positif bagi bangsa kalau dijalankan dengan kesungguhan, tidak sekadar iklan kampanye. Tapi saat anggaran begitu besar disahkan, sementara banyak dapur belum aman, dan kualitas makanan belum bisa dijamin, maka kepercayaan publik berada di ujung tanduk.

Kita butuh pejabat yang tidak hanya janji “gratis” dan “gizi”, tetapi juga yang menjaga eksekusi seketat menjaga amanah rakyat. Karena makan bergizi bukan sekadar menu untuk hari ini ia investasi bagi generasi selanjutnya.

Timeline

Halo, Selamat datang di blog saya. perkenalkan saya Siti Fauziyah Handayani, atau biasa dipanggil Ziya. Saat ini saya menempuh studi di bidang Jurnalistik dan punya ketertarikan besar pada dunia tulis-menulis serta media. Blog ini saya hadirkan sebagai ruang untuk berbagi cerita, informasi, dan pemikiran seputar hal-hal yang sedang ramai dibicarakan, terutama dari sudut pandang anak muda masa kini. Tulisan-tulisan di sini akan mengajak pembaca untuk melihat berbagai isu dengan cara yang lebih segar, ringan, namun tetap bermakna. Saya berharap setiap orang yang berkunjung bisa merasa betah, menikmati setiap rangkaian kata, dan menemukan sesuatu yang bermanfaat sekaligus menyenangkan untuk dibaca.

Post a Comment

Previous Post Next Post