![]() |
| Sound Project 2025 by.Fauziyah |
Aku masih bisa merasakan getaran di dada ketika mengingat kembali malam itu. Hari ketiga Sound Project 2025 jadi sesuatu yang akan lama kusimpan dalam ingatan. Sejak sore, aku sudah berdiri di depan antrean, menunggu pintu venue dibuka. Orang-orang di sekitarku tampak sama bersemangatnya, ada yang membawa spanduk bertuliskan nama band favoritnya, ada yang sibuk memastikan baterai ponsel penuh untuk merekam setiap detik, ada pula yang sekadar duduk di lantai sambil bercerita dengan teman. Semua wajah punya satu kesamaan: antusiasme.
Ketika pintu akhirnya dibuka, lautan manusia perlahan masuk, mengisi setiap sisi lapangan. Cahaya sore berganti dengan langit jingga, dan atmosfer terasa semakin intens. Aku bisa mencium aroma jajanan dari tenant yang berjajar di luar, bercampur dengan bau keringat penonton yang berdesakan mencari posisi terbaik. Mungkin terdengar melelahkan, tapi justru itulah sensasinya. Ada rasa kebersamaan yang jarang ditemui, semacam persaudaraan instan yang tercipta hanya karena kita punya tujuan sama: menunggu musik dimulai.
Begitu lampu panggung menyala terang, sorak-sorai langsung menggema. Dari barisan depanku terdengar teriakan, “Akhirnya! Kita mulai!” Suara bass pertama menghentak, membuat tubuhku ikut bergetar. Aku tak perlu menoleh ke kiri atau kanan untuk tahu bahwa semua orang di sekelilingku merasakan hal yang sama. Dalam sekejap, ribuan orang bernyanyi bersama, seolah tak peduli siapa yang berdiri di sebelahnya.
Malam itu, setiap penampilan terasa istimewa. Tapi ada satu nama yang paling ditunggu: Honne. Sejak awal, hampir semua penonton menyimpan energi khusus untuk duo asal Inggris itu. Ketika akhirnya mereka muncul di panggung, sorakannya pecah lebih keras daripada sebelumnya. Aku merinding melihat bagaimana ribuan orang serentak mengangkat tangan, ponsel, dan spanduk bertuliskan nama mereka.
Seorang penonton di sampingku, perempuan berambut pendek, sampai meneteskan air mata. “Aku nungguin mereka dari lama banget. Gak nyangka bisa lihat langsung,” katanya sambil mengusap pipinya. Aku hanya bisa tersenyum, ikut larut dalam emosinya.
Puncaknya terjadi saat intro lagu “Location Unknown” terdengar. Suara gitar lembut yang khas langsung memicu jeritan panjang dari penonton. Semua orang tahu inilah momen yang ditunggu-tunggu. Dari depan hingga belakang, penonton bersuara lantang, menyanyikan bait demi bait. Aku bisa mendengar suara di sekelilingku begitu jelas, seakan-akan ribuan orang menjadi satu paduan suara.
Aku pun ikut bernyanyi, meski napas terengah karena terlalu bersemangat. Rasanya seperti berada dalam ruang yang tak ada batasnya—dimana musik menjadi bahasa universal yang mempersatukan semua orang. Di momen itu, aku benar-benar lupa sedang berdiri berdesakan, lupa pada rasa pegal di kaki, lupa pada tubuh yang lelah. Yang ada hanya suara, cahaya, dan rasa haru yang mengalir begitu deras.
Malam itu juga dipenuhi cerita-cerita kecil yang membuatnya semakin hangat. Seorang cowok di belakangku sibuk melindungi pasangannya dari dorongan massa. Sekelompok teman yang kompak memakai kaus bergambar Honne saling berpelukan sambil bernyanyi, seolah mereka tak ingin melewatkan satu kata pun dari lirik. Bahkan, ada momen saat beberapa orang asing di sebelahku berbagi air minum hanya karena melihatku kehausan.
Ketika jam semakin larut, energi tak kunjung surut. Dentuman beat cepat membuat penonton melompat serentak, menciptakan gelombang manusia yang bergerak seirama. Aku sempat kehilangan sandal sebelah karena terlalu asyik, tapi orang di sampingku membantuku mencarinya. “Tenang aja, ini sering kejadian,” katanya sambil tertawa.
Dan benar saja, penutup konser terasa begitu megah. Setelah lagu terakhir selesai, panggung perlahan gelap, dan kembang api kecil menyembur ke langit malam. Tapi semua orang masih larut dalam euforia, masih menggema menyanyikan potongan “Location Unknown” tanpa iringan musik. Itu adalah chorus penutup yang tak direncanakan, spontan tapi begitu indah.
Saat akhirnya berjalan keluar venue, kakiku terasa berat, bukan hanya karena pegal, tapi juga karena tak ingin meninggalkan suasana itu. Di luar, jalanan dipenuhi penonton yang bercampur antara rasa lelah dan bahagia. Ada yang sibuk memotret, ada yang masih heboh bercerita, ada pula yang hanya diam sambil tersenyum puas. Aku menatap langit malam yang mulai sepi, dan dalam hati berbisik: Sound Project 2025 Day 3 bukan sekadar konser. Ia adalah pengalaman kolektif yang menyatukan ribuan orang dengan cara sederhana—melalui musik dan lagu yang membuat kita merasa pulang, meski dalam keadaan tak diketahui, persis seperti judulnya: Location Unknown.
