![]() |
| by.Pinterest |
Bogor- Beberapa hari terakhir publik heboh dengan pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi soal maraknya kasus LGBT. Disebutkan ada lebih dari 6.000 warga Bekasi yang masuk dalam kategori penyintas LGBT, dengan Bekasi Selatan menempati posisi terbanyak. Bahkan, MUI menyebut Bekasi kini berada dalam status “zona merah” karena lonjakan yang begitu tajam, dari ratusan menjadi ribuan kasus.
Angka ini tentu membuat kaget banyak orang. Bayangkan, di satu kecamatan saja, laporan kasus LGBT bisa melonjak drastis dalam waktu singkat. Tapi pertanyaannya, apakah data ini cukup untuk menyimpulkan bahwa Bekasi adalah kota dengan LGBT terbanyak di Indonesia?
Membaca Data dengan Jernih
Menurut saya, klaim “terbanyak” masih perlu dikaji lebih dalam. MUI sendiri menyebutkan bahwa data tersebut sifatnya sementara dan masih dalam proses validasi. Tanpa metodologi yang jelas apakah ini hasil survei, laporan kesehatan, atau sekadar catatan aduan angka-angka itu rawan menimbulkan bias.
Kalau kita lihat populasi Bekasi yang mencapai 2,53 juta jiwa, estimasi jumlah LGBT di kota ini sebenarnya hanya sekitar 0,44 persen dari total penduduk (facebook.com). Jumlahnya memang signifikan, tapi bukan berarti secara otomatis Bekasi paling banyak dibanding kota lain. Bisa jadi kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung punya angka serupa, hanya saja tidak muncul dalam laporan publik.
Fenomena Sosial, Bukan Sekadar Angka
Fenomena ini juga bisa dibaca dari sisi sosial. Lonjakan laporan bisa jadi bukan karena jumlah LGBT tiba-tiba meledak, melainkan karena akses pelaporan dan perhatian publik makin besar. Media lokal aktif memberitakan, lembaga keagamaan lebih vokal, dan masyarakat lebih peka. Artinya, apa yang dulu tersembunyi kini lebih terlihat.
Namun, di sinilah letak bahayanya. Kalau data dipakai hanya untuk menempelkan stigma, masyarakat malah bisa terjebak pada diskriminasi. Padahal, di sisi lain, fakta ini seharusnya jadi momentum untuk menghadirkan dialog yang sehat, layanan kesehatan yang inklusif, serta pendekatan sosial yang lebih manusiawi.
Bagi saya, menyebut Bekasi sebagai “kota dengan LGBT terbanyak” terlalu terburu-buru. Yang lebih penting bukan pada siapa terbanyak atau tersedikit, melainkan bagaimana kota bisa menghadapi fenomena sosial ini dengan bijak. Apakah lewat edukasi, ruang diskusi, atau layanan psikologis. Karena pada akhirnya, angka hanya statistikyang menentukan masa depan adalah cara kita sebagai masyarakat meresponsnya.
