![]() |
| Foto: Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato dalam rapat Perserikatan Bangsa-bangsa di New York City, AS, (22/9/2025). (Tangkapan Layar Youtube/United Nations |
Bogor- Pada tanggal 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto tampil di panggung internasional dalam Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pidato itu banyak mendapat pujian dan sorotan tentang solidaritas Palestina, peran internasional Indonesia, dan bahkan ancaman untuk mengakui Israel jika Israel mengakui Palestina.
Sebagai pihak yang bukan penentang keras tapi punya keberatan, saya menyimak pidato ini dengan teliti. Dari sisi diplomasi, pidato itu punya daya tarik politis. Tapi dari sisi akal sehat dan koreksi obyektif, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dicermati, agar kita tidak terbuai oleh retorika semata.
Poin-poin yang patut diapresiasi (namun bukan tanpa catatan)@prabowo.subianto171051 (FULL SUB) Pidato Presiden Prabowo pada Sidang Umum ke-80 PBB, New York, 23 September 2025 #presidenprabowo #prabowosubianto #presidenrepublikindonesia #prabowo #indonesia🇮🇩 #newyork #unitednations #palestine #palestina #peace #unitedstates #twostatesolution #pbb #fyp #foryoupage #viral @partaigerindra @tumgrd ♬ suara asli - Presiden Prabowo Subianto
1. Menjaga citra Indonesia di kancah global
Dalam pidato, Prabowo menegaskan dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara (two-state solution) antara Palestina dan Israel.
Secara simbolik, ini memperlihatkan bahwa Indonesia ingin dianggap sebagai pemain diplomatik aktif, bukan negara pasif di pentas dunia.
2. Mengajak solidaritas dan multilateralisme
Ia banyak bicara soal “kewajiban bersama”, “keadilan bagi semua negara”, “PBB harus diperkuat”.
Dalam konteks di mana banyak negara merasa lembaga global kehilangan kredibilitas, ajakan seperti ini memang relevan.
3. Penggunaan retorika yang dramatis (pukulan meja, penegasan intens)
Beberapa media melaporkan bahwa Prabowo “mengetuk meja” atau menegaskan dengan nada keras agar pesannya dianggap serius.
Secara psikologis, ini bisa membantu memperkuat kesan bahwa ia “serius”, tapi terbuka risiko jadi terkesan teatrikal
Kritik & catatan penting
1. Bahaya simbolisme tanpa aksi nyata
Retorika “dukungan penuh untuk Palestina” atau “mengakui Israel jika …” bisa menjadi janji politik kosong jika tidak ada langkah konkret di baliknya. Media Middle East Monitor misalnya mengingatkan bahwa solidaritas berbicara saja tanpa disertai tekanan politik atau kebijakan nyata bisa hanya menjadi “ritual diplomatik” yang nyaman bagi yang berkuasa.
2. Ambiguitas pengakuan Israel
Salah satu poin kontroversial dalam pidato adalah klaim bahwa “Indonesia akan mengakui Israel jika Israel mengakui Palestina”.
Pertanyaannya: Apa syarat konkret pengakuan itu? Bagaimana mekanisme diplomatiknya? Pernyataan semacam itu bisa disalahartikan atau menjadi alat nego politik internasional tanpa konsekuensi domestik yang jelas.
3. Risiko melemahkan posisi Palestina sendiri
Dengan menekankan “jaminan keamanan Israel” sebagai syarat perdamaian sejati, ada potensi retorika itu dianggap berpihak secara tidak proporsional. Banyak pihak Palestina dan peninjau konflik meyakini bahwa selama tindakan okupasi, hambatan akses, dan pelanggaran hak terus terjadi, “jaminan keamanan” tersebut sulit diartikulasikan secara adil.
4. Kurang kedalaman terhadap akar masalah
Konflik Israel-Palestina bukan sekadar soal pengakuan negara atau batas wilayah. Ada elemen sejarah, hak atas tanah, pengungsi, hak sipil, jeratan blokade ekonomi, pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM. Dalam pidato, saya merasa belum banyak ruang untuk menggali akar konflik lebih banyak retorika ideal tentang “kedamaian” dan “keadilan universal”.
5. Risiko domestik vs citra internasional
Publik Indonesia menaruh ekspektasi tinggi ketika presiden tampil di forum besar. Jika pidato ini tidak diikuti oleh kebijakan luar negeri yang nyata ataupun diplomasi aktif, maka aparat pemerintah bisa dianggap sekadar mengejar sorotan internasional, sementara persoalan lokal yang mendesak (ekonomi, infrastruktur, kesejahteraan rakyat) tergeser.
Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB tanggal 23 September 2025 memiliki nilai sebagai langkah diplomatik strategis: ia menghibur publik bahwa Indonesia masih punya suara, bahwa negara ini ingin dianggap berpengaruh, dan bahwa pemerintah memiliki visi luar negeri yang “beradab”.
Namun, bagi yang skeptis seperti saya, pidato itu tidak boleh berhenti di level simbol. Kritik saya bukan karena ingin menjatuhkan melainkan mengingatkan bahwa tugas terbesar adalah merubah retorika menjadi kebijakan konkret, dan janji diplomasi menjadi langkah nyata yang bisa dinilai dan dipertanggungjawabkan.
