Museum Prasasti, Arsip Hidup yang Membisu


Museum Prasasti Jakarta. By. Fauziyah

Langkahku terhenti sejenak di depan gerbang besar berwarna cokelat tua itu. Dari luar, Museum Prasasti Jakarta tidak terlihat seperti museum pada umumnya. Ia lebih mirip sebuah kompleks makam tua yang tenang, dikelilingi pepohonan besar yang sudah berusia puluhan tahun. Udara siang itu terasa sedikit pengap, tapi aroma tanah basah setelah hujan membuat suasana berbeda seolah aku sedang masuk ke dalam sebuah cerita lama yang siap terkuak.

Begitu melangkah masuk, pandanganku langsung disambut deretan nisan dan prasasti dari batu, sebagian di antaranya tampak sudah berlumut. Bentuknya bermacam-macam: ada yang sederhana, hanya berupa batu tegak dengan ukiran nama, ada pula yang rumit dengan pahatan bergaya Eropa klasik. Di sini, aku merasa seperti berjalan di antara halaman sejarah yang beku, namun tetap berbicara lewat diamnya.

Museum Prasasti memang dulunya adalah pemakaman Belanda, tempat banyak tokoh penting dimakamkan. Beberapa nama yang terukir mungkin tidak begitu familiar bagi pengunjung muda, tapi ketika membaca kisah di baliknya, aku jadi mengerti bahwa setiap batu memiliki cerita. Ada makam tokoh politik, dokter, seniman, hingga pejabat Hindia Belanda. Mereka bukan sekadar nama, melainkan bagian dari sejarah panjang Jakarta.

Aku melihat sepasang turis asing berdiri lama di depan sebuah nisan yang megah. Mereka berbisik sambil menunjuk ukiran malaikat kecil di bagian atas batu. Di sisi lain, seorang bapak paruh baya tampak sibuk menjelaskan pada anaknya tentang arti simbol salib dan tulisan Latin yang terukir. Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa museum ini bukan hanya ruang mengenang, tapi juga ruang belajar lintas generasi.

Suasana hening membuatku lebih peka terhadap detail. Angin sepoi membawa dedaunan kering jatuh ke tanah. Suara burung sesekali terdengar dari kejauhan, menambah kesan sepi tapi damai. Aku melangkah perlahan, memperhatikan batu-batu nisan yang usianya lebih tua dari kakek buyutku. Ada semacam rasa rendah hati yang muncul, menyadarkan bahwa waktu berjalan begitu cepat, dan kita hanya meninggalkan jejak yang mungkin kelak dibaca orang lain.

Di salah satu sudut, aku menemukan patung malaikat dengan sayap yang sudah aus dimakan waktu. Ekspresinya teduh, seolah menjaga setiap cerita yang terkubur di tanah itu. Rasanya seperti ditatap masa lalu, mengingatkan bahwa sejarah tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk dikenang kembali.

Museum Prasasti juga menyimpan kisah unik. Ada koleksi prasasti yang menunjukkan perubahan gaya bahasa, dari Belanda hingga Indonesia modern. Aku sempat berhenti lama di salah satu batu bertuliskan bahasa Melayu kuno. Rasanya ajaib bisa membaca tulisan yang mungkin dulu dibuat dengan penuh kehati-hatian, kini berdiri diam sebagai saksi zaman.

Tak jauh dari sana, aku bertemu seorang petugas museum yang ramah. Ia bercerita bahwa museum ini sering jadi lokasi syuting film atau foto prewedding, karena suasananya yang eksotis. “Kadang ada yang datang hanya untuk hunting foto, tapi lama-lama mereka tertarik juga baca cerita di balik batu-batu ini,” katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk, membayangkan betapa berlapisnya fungsi tempat ini antara ruang sejarah, ruang seni, dan ruang perenungan.

Menjelang sore, cahaya matahari menyelinap di antara ranting pohon, menimbulkan bayangan panjang di jalan setapak. Pemandangan itu membuat suasana semakin syahdu. Aku duduk sebentar di bangku taman, mencoba meresapi ketenangan yang jarang bisa didapat di tengah hiruk pikuk Jakarta. Di luar sana, kota ini berisik dengan klakson dan langkah terburu-buru, tapi di sini, waktu berjalan pelan, memberi ruang untuk berpikir.

Sebelum meninggalkan museum, aku menoleh sekali lagi ke arah gerbang. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan: campuran antara kagum, hormat, dan sedikit haru. Aku sadar, kunjungan ke Museum Prasasti bukan sekadar wisata sejarah. Ia lebih dari itu sebuah pengalaman untuk melihat hidup dari perspektif berbeda. Bahwa manusia, seberapa hebat pun, akhirnya hanya meninggalkan prasasti, nisan, atau bahkan hanya kenangan di hati orang-orang yang mencintainya.

Aku melangkah keluar dengan hati yang lebih tenang. Di tengah panas dan padatnya Jakarta, Museum Prasasti memberi jeda, sebuah ruang sunyi yang mengingatkan: sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang bagaimana kita ingin dikenang di masa depan.


Timeline

Halo, Selamat datang di blog saya. perkenalkan saya Siti Fauziyah Handayani, atau biasa dipanggil Ziya. Saat ini saya menempuh studi di bidang Jurnalistik dan punya ketertarikan besar pada dunia tulis-menulis serta media. Blog ini saya hadirkan sebagai ruang untuk berbagi cerita, informasi, dan pemikiran seputar hal-hal yang sedang ramai dibicarakan, terutama dari sudut pandang anak muda masa kini. Tulisan-tulisan di sini akan mengajak pembaca untuk melihat berbagai isu dengan cara yang lebih segar, ringan, namun tetap bermakna. Saya berharap setiap orang yang berkunjung bisa merasa betah, menikmati setiap rangkaian kata, dan menemukan sesuatu yang bermanfaat sekaligus menyenangkan untuk dibaca.

Post a Comment

Previous Post Next Post