![]() |
| Bumi Pewira. by. Fauziyah |
Di tengah riuh lalu lintas Kota Bogor, ada satu sudut yang menyimpan keheningan berbeda. Namanya Bumi Pewira, sebuah perpustakaan yang lebih mirip rumah bagi siapa saja yang mencintai buku, sejarah, atau sekadar mencari tempat bernaung dari bising dunia luar. Dari luar, bangunannya tidak tampak megah seperti gedung-gedung modern di pusat kota. Justru kesederhanaannya yang membuat siapa pun penasaran untuk melangkah masuk.
Begitu membuka pintu, aroma khas kertas dan kayu tua langsung menyeruak. Seolah ada yang berbisik, “Selamat datang, kamu tidak sendirian.” Rak-rak tinggi menyambut dengan rapi, dipenuhi buku-buku yang sebagian sudah menguning dimakan waktu, sebagian lain masih segar dengan sampul berkilau. Di sini, waktu seakan berjalan lambat.
Seorang pengunjung, mahasiswa tingkat akhir dari IPB, duduk tenang di sudut ruangan. “Saya sering ke sini kalau lagi buntu nulis skripsi. Rasanya tenang saja, berbeda dengan kafe atau co-working space. Perpustakaan ini seperti punya energi lain yang bikin fokus,” katanya sambil tersenyum.
Bumi Pewira memang bukan sekadar perpustakaan. Ia adalah ruang pertemuan: antara generasi lama yang menjaga ingatan kota dengan anak-anak muda yang haus akan pengetahuan baru. Tidak jarang, pengunjung bisa bertemu pegiat literasi atau sejarawan lokal yang dengan senang hati bercerita tentang Bogor tempo dulu. Di sinilah buku tidak hanya dibaca, tapi juga menghidupkan obrolan.
Suasana semakin hidup ketika sore tiba. Beberapa anak sekolah dasar berdatangan, masih dengan seragam lengkap. Mereka duduk lesehan di karpet, membuka buku cerita bergambar yang warnanya mencolok. Tawa mereka sesekali pecah, memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti ruangan. “Kalau baca di sini, seru. Bukunya banyak, dan Kakak-kakak suka nemenin cerita,” ucap seorang anak dengan mata berbinar.
Selain koleksi buku yang cukup beragam, Bumi Pewira juga sering menjadi ruang berkegiatan. Diskusi buku, pemutaran film dokumenter, hingga lokakarya menulis pernah digelar di sini. Tidak ada kesan kaku seperti perpustakaan konvensional, melainkan suasana akrab yang mengundang siapa saja untuk terlibat. Mungkin inilah yang membuat Bumi Pewira terasa lebih sebagai “rumah bersama” ketimbang lembaga resmi.
Namun, di balik kehangatan itu, ada cerita perjuangan. Menjaga perpustakaan kecil seperti ini bukan perkara mudah. Keterbatasan dana, perhatian yang minim, hingga perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin digital menjadi tantangan besar. Meski begitu, pengelola tetap teguh. Mereka percaya, selama masih ada satu orang saja yang datang untuk membaca, maka semangat menjaga perpustakaan ini tidak boleh padam.
Menjelang petang, suasana semakin syahdu. Cahaya matahari yang menembus jendela memberi warna keemasan pada rak-rak kayu. Satu per satu pengunjung mulai berkemas, tapi tak sedikit yang masih enggan pulang. Ada yang menyalin catatan dari buku tua, ada pula yang hanya termenung, seolah tidak rela meninggalkan keheningan yang menenangkan.
Bagi banyak orang, Bumi Pewira hanyalah perpustakaan kecil di Bogor. Tapi bagi mereka yang pernah masuk dan merasakan atmosfernya, tempat ini adalah pengingat: bahwa di tengah dunia yang serba cepat, masih ada ruang untuk melambat, membaca, dan mendengar suara-suara masa lalu.
Ketika akhirnya langkah kaki meninggalkan pintu kayu itu, ada rasa hangat yang tertinggal. Seakan buku-buku di rak berbisik, “Datanglah lagi. Cerita kami belum selesai.”
