
Bendera Palestina
Bogor - Perjuangan panjang rakyat Palestina menuju kemerdekaan kembali menjadi sorotan dunia. Seiring bertambahnya negara yang secara resmi mengakui kedaulatan Palestina, harapan untuk mewujudkan solusi damai di Timur Tengah semakin terbuka. Meski jalan masih berliku, momentum ini menunjukkan bahwa isu Palestina tidak pernah padam, justru makin menguat di panggung diplomasi global.
Akar Konflik dan Tuntutan Kemerdekaan
Sejak proklamasi Israel pada 1948, konflik berkepanjangan di tanah Palestina tidak pernah benar-benar mereda. Ratusan ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka, memunculkan apa yang disebut sebagai Nakba atau malapetaka besar. Sejak itu, rakyat Palestina menuntut hak atas tanah dan kedaulatan politik, yang di mata mereka dirampas oleh penjajahan.
Meski Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendeklarasikan kemerdekaan pada 1988 di Aljazair, realitas di lapangan tetap pelik. Palestina belum sepenuhnya diakui sebagai negara berdaulat, baik di Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun dalam hubungan internasional. Status “negara pengamat non-anggota” yang diberikan PBB pada 2012 memang menjadi langkah penting, tetapi belum cukup kuat untuk menjamin hak-hak rakyat Palestina di mata hukum internasional.
Dukungan Baru dari Negara Barat
Babak baru muncul pada September 2025. Inggris, Kanada, dan Australia — tiga negara Barat dengan pengaruh besar — secara resmi mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Pengakuan ini memicu gelombang optimisme baru di kalangan aktivis perdamaian. Pemerintah Inggris menegaskan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan siklus kekerasan di kawasan.
Portugal juga mengambil langkah serupa. Menteri Luar Negeri Portugal menyebut pengakuan terhadap Palestina adalah bentuk konsistensi kebijakan luar negeri mereka: membela keadilan dan mendukung penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi.
Langkah negara-negara tersebut tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga memiliki dampak strategis. Dukungan dari negara Barat mempersempit ruang gerak Israel untuk menolak negosiasi. Selain itu, pengakuan resmi berarti Palestina berhak membuka kedutaan, mengakses perjanjian internasional, dan memperkuat posisinya di forum global.
Indonesia Konsisten di Garis Depan
Bagi Indonesia, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina bukan hal baru. Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia konsisten menolak segala bentuk penjajahan. Prinsip ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang menegaskan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Presiden Prabowo Subianto, dalam pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, menegaskan kembali sikap Indonesia. Menurutnya, solusi dua negara adalah jalan yang realistis dan adil. “Indonesia sepenuhnya mendukung kemerdekaan Palestina. Kami percaya perdamaian tidak akan terwujud tanpa pengakuan atas hak rakyat Palestina,” ujar Prabowo dalam pernyataan resmi.
Bahkan, pemerintah Palestina sendiri mengakui konsistensi Indonesia. Dalam sebuah pertemuan diplomatik, perwakilan Palestina menyampaikan kepercayaan penuh kepada Indonesia sebagai negara yang setia mendukung perjuangan mereka.
Gelombang Dukungan Global
Hingga kini, lebih dari 140 negara anggota PBB telah mengakui Palestina. Dukungan terbesar datang dari negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, pengakuan dari negara Barat baru-baru ini memberi bobot diplomasi lebih besar karena mereka memiliki pengaruh dalam politik global.
Gerakan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia juga terus menekan pemerintah masing-masing untuk mendukung Palestina. Demonstrasi, kampanye digital, hingga boikot produk tertentu menjadi bentuk solidaritas nyata. Hal ini menunjukkan bahwa isu Palestina bukan hanya persoalan politik luar negeri, tetapi juga menyangkut nilai kemanusiaan universal.
Tantangan yang Masih Menghadang
Meski dukungan kian meluas, tantangan besar tetap ada. Israel menolak keras pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina. Pemerintah Israel beralasan bahwa pengakuan semacam itu justru menghambat proses perdamaian, karena menurut mereka status Palestina hanya bisa ditentukan melalui perundingan langsung.
Di lapangan, kondisi warga Palestina masih memprihatinkan. Blokade di Gaza, permukiman ilegal di Tepi Barat, dan bentrokan bersenjata terus menambah panjang daftar korban. Data dari PBB menyebut ribuan warga sipil menjadi korban setiap tahun, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Situasi ini memperlihatkan jurang yang lebar antara diplomasi internasional dan realitas di tanah Palestina.
Harapan Masa Depan
Meski demikian, momentum ini memberi harapan baru. Dukungan negara-negara besar menandakan adanya pergeseran sikap internasional. Bila gelombang ini terus membesar, Palestina berpeluang semakin memperkuat posisinya di forum PBB dan organisasi internasional lain.
Bagi rakyat Palestina, kemerdekaan bukan sekadar status politik, melainkan hak asasi yang sudah terlalu lama tertunda. Dukungan internasional yang semakin besar diharapkan bisa menekan Israel dan sekutunya untuk duduk di meja perundingan dengan kesepakatan yang adil.
Bagi Indonesia dan banyak negara lain, perjuangan ini adalah bagian dari komitmen moral. Selama penjajahan masih ada, dunia belum sepenuhnya merdeka. Dan bagi rakyat Palestina, setiap pengakuan baru dari negara sahabat adalah langkah kecil menuju mimpi besar: hidup damai di tanah air mereka sendiri.